SCHIZOPHRENIA

Sejarah
Gangguan skizofrenia sebenarnya telah dibicarakan sejak ratusan tahun lalu. Dua tokoh yang dianggap memberikan sumbangan paling penting adalah Emil Kraeplin & Eugen Bleuler. Pada awalnya, Kraeplin menyebut gangguan ini sebagai dementia precox. Akan tetapi, berbagai simptom atau gejala yang muncul tidak lagi cocok akan definisi Kraeplin. Bleuler-lah yang kemudian mengenalkan istilah schizophrenia untuk gangguan ini. Hingga saat ini, gangguan ini merupakan gangguan mental yang dianggap paling parah.

Definisi
Skizofrenia adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu “schizein” (terpisah atau pecah) dan “phrenia” (jiwa). Arti dari kedua kata ini menjelaskan karakteristik utama sekaligus definisi dari gangguan ini, yaitu adanya pemisahan emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya. Gangguan ini termasuk dalam gangguan psikotik karena salah satu ciri utamanya adalah kegagalan untuk berhubungan dengan kehidupan nyata (reality testing).

Simtom-simptom
Kemunculan simptom gangguan ini biasanya dimulai pada masa remaja akhir ataupun dewasa muda, dengan kecenderungan terjadi lebih awal pada pria. Akan tetapi, banyaknya kasus tidak menunjukkan adanya perbedaan prevalensi antara pria dan wanita.
Beberapa simtom yang muncul pada klien dengan gangguan ini melibatkan gangguan pada berbagai area atau fungsi tubuh utama. Beberapa fungsi tersebut diantaranya fungsi untuk mempersepsikan dan memberi atensi, motorik, afek atau emosi, dan fungsi hidup lainnya. Menurut Bleuler (dalam Fausiah, 2005), ada empat simtom dasar (primer) dari gejala ini, yaitu Asosiasi, Afek, Autisme, dan Ambivalensi. Sedangkan, halusinasi dan delusi merupakan simtom sekundernya.

Kriteria gangguan skizofrenia menurut DSM-IV-TR
Beberapa kriteria untuk mendefinisikan suatu gangguan merupakan gangguan kepribadian skizofrenia menurut Davison, Neale & Kring (2001) adalah:
1. memiliki dua atau lebih dari simtom-simtom berikut ini sekurang-kurangnya selama 1 bulan, yaitu delusi, halusinasi, pembicaraan yang tak terorganisasi, perilaku katatonik atau tak terorganisasi, dan simtom negatif.
2. penurunan fungsi sosial dan pekerjaan sejak munculnya onset perilaku
3. ada tanda-tanda gangguan selama sekurang-kurangnya 6 bulan

ETIOLOGI SCHIZOPHRENIA

MODEL DIATESIS STRESS
Teori ini mengintegrasikan faktor biologis, psikososial dan lingkungan. Beranggapan bahwa seseornag mungkin memiliki kerentanan spesifik (diatesis), yang jika diaktifkan oleh pengaruh stress, akan memungkinkan berkembang skizofrenia. Stressor atau diatesis ini mungkin bersifat biologis, lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (seperti situasi kematian orang terdekat).

Sudut Pandang Biologis
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun, sampai saat ini belum diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya skizofrenia. Penelitian pada beberapa dekade terakhir mengindikasikan peran patofisiologis dari area tertentu di otak; termasuk sistem limbik, kirteks frontal dan ganglia basalis.
Kemungkinan dari abnormalitas otak ini salah satunya adalah terjadinya kerusakan pada proses kelahiran atau pada saat kelahiran bayi. Banyak penelitian menunjukkan rating yang tinggi pada individu yang mengalami gangguan skizofrenia bahwa mereka mengalami komplikasi pada saat proses kelahiran mereka. Komplikasi tersebut mungkin menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke otak sehingga mengakibatkan hilangnya kortikal abu-abu. Kemungkinan lainnya adalah adanya virus yang menyerang otak dan merusak otak pada saat perkembangan janin dalam kandungan.

Hipotesis Dopamin
Menurut hipotesis ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter Dopaminergic. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, meningkatnya jumlah reseptor dopamin, turunnya nilai ambang atau hipersensitivitas reseptor dopamin, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.

Sudut Pandang Genetik
Penelitian yang dilakukan melalui family studies, twin studies dan adoption studies menunjukkan bukti adanya komponen genetik dalam pewarisan skizofrenia.

Family Studies
Pewarisan predisposisi genetik pada pasien skizofrenia, telah terbukti melalui beberapa penelitian tentang keluarga dan skizofrenia.

Sudut Pandang Psikososial

1. Teori tentang Individu Pasien
Teori Psikoanalitik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi perkembangan dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar. Menurut Freud, kerusakan ego (ego deficit) memberikan kontribusi terhadap munculnya simtom skizofrenia. Sedangkan menurut Sullivan, gangguan skizofrenia disebabkan karena kesulitan interpersonal yang terjadi sebelumnya, terutama yang berhubungan dengan pola pengasuhan ibu yang salah, yaitu cemas berlebihan.
Secara umum, dalam pandangan ini, gangguan terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal balik antara ibu dan anak (bayi).

Teori Psikodinamik
Pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama masa kanak-kanak dan mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.
Simtom positif diasosiakan dengan onset akut sebagi respon terhadap faktor pemicu dan memiliki kaitan yang erat dengan adanya konflik.
Simton negatif berkaitan erat dengan faktor biologis dan memiliki karakteristik absennya perilaku/fungsi tertentu.
Sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat konflik intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.

Teori Belajar
Menurut teori ini, anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir yang tidak rasional dengan mengimitasi orang tua yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada masa kanak-kanak mereka belajar dari model yang buruk.

2. Teori tentang keluarga
Beberapa pasien skizofrenia, berasal dari keluarga yang disfungsi. Selain itu, perilaku keluarga yang patologis dapat meningkatkan stress emosional pada pasien skizofrenia. Perilaku keluarga yang patologis tersebut, antara lain:

Double-Bind
Keluarga dimana anak menerima pesan yang bertolak belakang dari orangtua yang berkaitan dengan perilaku, sikap maupun perasaannya.

Schisms and Skewed Families
Pada pola keluarga schisms, terdapat perpecahan yang jelas antara orangtua. Sehingga salah satu orangtua akan menjadi sangat dekat dengan anak yang berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga skewed, hubungan skewed melibatkan perebutan kekuasaan dan dominasi dari salah satu orang tua.

Pseudomutual and Pseudohostile Families
Dimana keluarga men-supress ekspresi emosi dengan menggunakan komunikasi verbal yang pseudomutual atai pseudohostile secara konsisten. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang salah dari orangtua dapat menjadi salah satu penyebab dari gangguan skizofrenia.

Ekspresi Emosi
Banyak penelitian yang menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dapat meningkatkan relapse pada pasien skizofrenia.

3. Teori Sosial
Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Selain itu, persentase paling tinggi pasien skizofrenia ditemukan pada penduduk yang tinggal di tengah kota dan berada pada kelas sosial ekonomi rendah.

The Sociogenic Hypotesis
Stressor dikaitkan dengan keberadaan pada kelas sosial ekonomi yang rendah dapat mengakibatkan atau memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia. Perilaku yang berbeda yang diterima individu dari orang lain, rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya penghargaan dan kesempatan, menjadikan semua hal tersebut menjadi pengalaman yang stresful dan dapat mengakibatkan individu, yang telah memiliki predisposisi skozofrenia, mengembangkan skizofrenia.

Social-selection Theory
Selama berkembangnya psikosis, individu dengan skizofrenia dapat tersingkir ke daerah miskin yang tersisihkan dari kota. Berkembangnya permasalahan pada kognitif dan emosional, mengakibatkan lumpuhnya kemampuan individu tersebut agar dapat hidup ditempat lain. Atau mereka memilih untuk tinggal di suatu area dimana terdapat sedikit tekanan sosial yang mereka terima dan mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang intens.