DEFINISI DISFUNGSI SEXUAL
Disfungsi seksual adalah tidak berfungsinya alat kelamin laki-laki ataupun wanita dengan baik. Hal ini disebabkan oleh kegagalan ereksi pada laki-laki, dan kesukaran orgasme pada wanita. Penyebab umumnya adalah pada pengalaman mereka, frustasi, rasa bersalah karena gagal, kehilangan harga diri, dan masalah emosional dengan pasangan seksual. Semua itu adalah efek psikologis yang khas dari disfungsi seksual. Disfungsi seksual umumnya menyebabkan perceraian dan jika beruntung pada sebagian disfungsi dapat diobati dengan terapi keberanian.
Type Disfungsi Seksual
Dsm-III- R menggolongkan disfungsi seksual berdasarkan tahap-tahap pertukaran respon seksual, sebagai penjelasan pertama oleh penelitian William Master dan Virginia Jonson (1966), ditambah oleh ahli terapi seks didefinisikan dalam bukunya yang berjudul “Pembuka Penyimpangan” (1974,1977). Dalam klasifikasi ini disfungsi seksual didefinisikan “pembuka penyimpangan psikologis yang membuat tidak mungkin individu untuk menikmati senggama”
Disfungsi dapat mempengaruhi pada tiga tingkatan pertama dari perputaran, yaitu:
1. Tahap keinginan, tahap rangsangan, tahap orgasme.
Ada juga tahap yang lain yaitu resolusi, tetapi sebagai perilaku sederhana dari relaksasi dan penurunan hasrat yang mengikuti orgasme tidak ada dalam pengelompokan disfungsi. Tahap keinginan terdiri dari perasaan mendesak untuk melakukan seks, mempunyai fantasi seksual dan keinginan sex pada orang lain.
Disfungsi seksual yang dimasukan pada tahap keinginan yaitu hypoactive sexual dexire adalah kurang tertariknya dalam seks, dan sebagai hasilnya tingkatan yang rendah pada aktivitas seksual. Saat seseorang dengan melakukan seks, seseorang sering berfungsi secara normal, bahkan menikmati pengalamannya, tapi tidak menemukan kepuasan. Pasien dengan aversion sebaliknya, melakukan aktivitas seks yang tidak menyenangkan. Berdasarkan pengalaman hasrat dan kesenangan, pasien ini sering merasakan perubahan, kemualan dan ketakutan.
2. Tahapan Rangsangan Seksual Ditandai Oleh Rangsangan Fisik Secara Umum.
Misalnya perubahan kecepatan detak jantung, tensi otot, tekanan darah, pernafasan dan perubahan khusus didaerah panggul. Dorongan pada panggul disebut Pelvic Vasocongestion, membuat ereksi penis pada laki-laki dan membesarnya clitoris, labia dan memproduksi lebrikasi vaginal pada wanita. Disfungsi pada tahap ini adalah male erectile disorder (impoten) dan female arausal disorder. Versi awal dari DSM tidak membedakan antara hasrat fisik dan pengalaman subyektif dari hasrat emosional dan ahli terapi seks memperhitungkan lebih detail sistem klasifikasi yang dibutuhkan (Scahover, 1982).
DSM-III-R mendefenisikan penyimpangan rangsangan seksual meliputi penyimpangan atau penambahan besar genetal wanita, penis tidak dapat ereksi, kurangnya perasaan subyektif dari hasrat seksual dan kesenangan baik pada wanita atau pada laki-laki.
3. Tahap Orgasme Dari Perputaran Respon Seksual dan Kontraksi Otot Bagian Panggul.
Umumnya disfungsi seksual laki-laki pada tahap ini adalah ejakulasi dini yang didefenisikan sebagai ejakulasi dengan stimulus sebelum pada atau sesudah penetrasi dan sebelum orang mengharapkannya (APA, 1987, P-295). Kadang-kadang seorang laki-laki tidak dapat mencapai orgasme, walaupun stimulusnya cukup, hal ini disebut inhibited male orgasm (DSM-III-R), tapi sering diartikan sebagai ejakulasi dini, kemampuan ejakulasi yang lambat pada wanita disebut inhibited female orgams (DSM-III-R). DSM-III-R membuat 2 daftar disfungsi lain sebagai sexual pain disorder atau adanya rasa sakit pada aktivitas seksual, vaginimus, kejang otot sekitar vagina, tempat masuknya penis, disparaneuca berarti sakit pada alat genital selama aktivitas seksual, ini jarang terjadi pada laki-laki.
C. Penyebab Disfungsi Seksual
Teori penyebab disfungsi seksual berpusat pada pengaruh masa kecil yang belajar tentang seks, sikap dan kepercayaan yang problematik, penyebab biologis seperti efek penyakit dan pengobatan, faktor psikodinamik individu, dan masalah hubungan dengan orang lain. Definisi dari rendahnya hasrat seksual kadang bermasalah, DSM-III-R mendefinisikan disfungsi ini sebagai persistently atau penurunan yang berulang atau absennya fantasi seksual dan hasrat untuk aktivitas seksual. (Blum Stein dan Schwartz, 1983), mengindikasikan bahwa rata-rata frekuensi seksual adalah dua atau tiga kali seminggu untuk pasangan menikah.
Sebenarnya hampir semua kasus memperlihatkan dalam terapi seks tidak hanya meliputi hasrat seksual yang hipoactive, tetapi sebenarnya tidak efisiennya hasrat seksual (Loppiccolo dan Friendman, 1988). Pasien ini tidak punya ketertarikan apa lagi dalam hubungan seksual dengan pasangannya, tidak onani dan tidak punya fantasi seksual. Dorongan seks ditentukan oleh kombinasi faktor fisik dan psikologis, tetapi kondisi fisik tertentu dapat menurunkan dorongan seksual.
Beberapa obat terlarang, baik prenscription dan illicit dapat mendorong atau meningkatkan hasrat seksual (Segraver, 1988), hampir semua obat psikotropika mempengaruhi tingkat neurotransmiter seperti dopamin atau serotin, yang nampaknya menimbulkan atau meningkatkan hasrat seksual, illicit drug seperti kokain, marijuana, ampheramina dan heroin dapat meningkatkan hasrat seksual dalam dosis yang rendah (Bancroft, 1989).
Sakit fisik yang kronis juga dapat menekan dorongan seks (Bullard, 1988), rendahnya dorongan seks dapat disebabkan oleh efek peyakit tersebut, efek pengobatan pada hormon seks atau akibat dari stress, sakit, dan depresi juga dapat mempengaruhi dorongan seksual. Penyebab psikologis lebih bervariasi dan kompleks, faktor situasional seperti perceraian, kematian keluarga, stress pekerjaan dapat menyebabkan hipoaktif hasrat seksual (Kaplan, 1979)
Psikoanalisis dari Freud menyebutkan bahwa disfungsi seksual disebabkan oleh kegagalan untuk melawan tahap perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak.
Menurut teori behavioral, disfungsi seksual merupakan akibat dari ketakutan yang diketahui untuk menutupi respon seksual.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
VARIASI SEXUAL
GANGGUAN IDENTITAS GENDER (GENDER IDENTITY DISORDER)
Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya (Nevid, 2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Fausiah (2003) berkata, identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam diri seseorang yang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan.
Faktor – Faktor Penyebab
Saat ini, masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.
Faktor lain yang dianggap dapat menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor sosial dan psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya, kemungkinan erkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sex anak dan identitas gender yang diperolehnya (Green, 1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki.
Teori belajar menekankan tidak adanya figur seorang ayah pada kasus anak laki – laki menyebabkan ia tidak mendapatkan model seorang pria.
Teori psikodinamika dan teori belajar lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender tidak dipengaruhi tipe sejarah keluarganya. Faktor keluarga mungkin hanya berperan dalam mengkombinasikan dengan kecenderungan biologisnya. Orang yang mengalami gangguan identitas gender sering memperlihatkan gender yang berlawanan dilihat dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak – anak. Hormon pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang maskulin dan feminine dipengaruhi oleh hormone seks fase – fase tertentu dalam perkembangan prenatal.
PARAPHILIA
Merupakan kelompok yang memiliki pola tingkah laku seksual dengan objek, ritual, atau situasi yang tidak biasa untuk mencapai kepuasan sexual. DSM III-R memasukkan 9 jenis yang termasuk pada kelompok ini, di antaranya adalah :
I. Fetishism
Fetishism melibatkan ketergantungan pada obyek yang tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual. Obyek yang dibutuhkan untuk memperoleh rangsangan seksual tersebut disebut fetishes,dan bentuknya beragam, misalnya kaki dan sepatu, stocking, ataupun pakaian dalam. Munculnya fetish sangat disukai atau bahkan dibutuhkan untuk terjadinya rangsangan seksual.Ketertarikan terhadap fetishes memiliki kualitas kompulsif, yaitu involuntary dan tidak dapat ditahan.
Gangguan hampir selalu muncul pada laki-laki. Pada umumnya, fetishisme dimulai pada masa remaja, meskipun mungkin fetish sudah dianggap signifikan pada masa yang lebih awal. Kebanyakan fetishes menampilkan pula parafilia lainnya, seperti paedofilia, sadisme, atau masokisme (Mason, 1997)
II. Transvestic Fetishism
Merupakan gangguan saat seorang laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri sebagai laki-laki. Transvestis selalu heteroseksual dan, selain saat memakai pakaian perempuan, cenderung memiliki tampilan, perilaku, dan preferensi seksual yang maskulin.
III. Pedofilia dan Inses
Pedofilia), adalah orang dewasa yang memperoleh kepuasan seksual melalui kontak fisik dan seksual dengan anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Hasil penelitian oleh Marshall (1997) menunjukkan bahwa, bertentangan dengan pernyataan DSM bahwa seluruh paedofil lebih suka anak-anak prapubertas, sebagian paedofil menyerang anak-anak yang telah melewati masa puber. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan pengalaman melakukan sex dengan orang dewasa.
Inses mengacu pada hubungan seksual antara keluarga dekat, dimana pernikahan tidak diperbolehkan antara mereka. Biasanya adalah pada kakak dan adik, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah ayah dengan anak perempuan. Bukti menunjukkan struktur keluarga dimana inses terjadi adalah patriarkal yang tidak biasa dan tradisional, terutama dengan memandang posisi perempuan yang lebih rendah daripadam laki-laki (Alexander & Lupfer, 1997). Orang tua dalam keluargasemacam ini akan cenderung menolak dan berjarak secara emosional dengan anak mereka.
IV. Voyeurism
Adalah preferensi yang nyata untuk memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang lain dalam keadaan tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual. Pada beberapa orang, hal ini merupakan satu-satunya aktivitas seksual dimana mereka terlibat. Sementara bagi yang lain, kegiatan ini disukai namun tidak sepenuhnya penting untuk meraih rangsangan seksual (Kaplan & Kreuger, 1997).
Orang yang mengalami gangguan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi, baik saat melihat kejadian ataupun saat membayangkan melakukannya.
V. Eksibisionisme
Merupakan preferensi mendapatkan kepuasan seksual dengan memperlihatkan organ genital kepada orang tidak dikenal, atau dengan membayangkan melakukan hal tersebut. Dalam sebagian besar kasus, terdapat keinginan untuk membuat terkejut atau mempermalukan orang yang melihat. Pada eksibisionis, dorongan untuk mengekspose bersifat kompulsif dan selain oleh rangsangan seksual, dipicu juga oleh kecemasan. Pada saat melakukan exposure, eksibisionis bisa tidak menyadari konsekuensi sosial dan hukum dari apa yang dilakukannya (Stevenson & Jones, 1972).
Eksibisionisme umumnya mulai muncul pada masa remaja (Murphy, 1997). Sebagian besar eksibisionis adalah laki-laki, dan pada umumnya tidak dewasa dalam pendekatan kepada lawan jenis, serta memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal. Lebih dari separuh eksibisionis telah menikah, namun memiliki hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan pasangan (Mohr, Turner, & Jerry, 1964).
VI. Frotteurism
Melibatkan kegiatan menyentuh orang lain secara seksual. Biasa dilakukan di tempat-tempat ramai seperti kendaraan umum atau trotoar, seorang frotteur dapat mengusap payudara atau alat kelamin seorang perempuan, atau menyentuhkan penisnya sendiri kepada paha atau pantat orang tersebut.
VII. Sadisme, Sadomasokisme, dan Masokisme Seksual
-Masokisme Seksual
Masokisme seksual (sexual masochism), berasal dari nama seorang Novelis Austria, Leopold Ritter von Sacher- Masoch (1836-1895), yang menulis cerita dan novel tentang pria yang mencari kepuasan seksual dari wanita yang memberikan rasa nyeri/sakit pada dirinya, sering dalam bentuk flagellation (dipukul atau dicambuk). Masokisme seksual melibatkan dorongan kuat yang terus menerus dan fantasi yang terkait dengan tindakan seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan, diikat, dicambuk, atau dibuat menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan itu dapat berupa tindakan yang menyebabkan atau didasari oleh distress personal.
Ekspresi masokisme yang paling berbahaya adalah hipoksifilia (hypoxyphilia), dimana partisipan merasa terangsang secara seksual dengan dikurangi konsumsi oksigennya, misalnya dengan menggunakan jerat, kantung plastic, bahan kimia, atau tekanan pada dada saat melakukan aktivitas seksual, seperti masturbasi.
-Sadisme Seksual
Sadisme seksual (sexual sadism) dinamai berdasarkan nama Marquis de Sade (1740-1814), pria Prancis pada abad ke-18 yang terkenal, yang menulis cerita tentang kenikmatan mencapai kepuasan seksual dengan memberikan rasa sakit atau rasa malu pada orang lain. Sadisme seksual ditandai dengan preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan cara menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun mental. Berbeda dengan pada sadisme, objek yang disakiti pada orang dengan masokisme seksual adalah diri sendiri.
-Sadomasokisme Seksual
Kata sadomasokis itu adalah gabungan dari sadis dan masokis. Masokisme adalah kecenderungan yang tidak normal untuk mendapatkan kesenangan karena disakiti orang lain. Masokis adalah orang yang mendapat kesenangan karena atau dengan cara disakiti orang lain. Karena pada pelaksanaan hubungan seksual itu berpasangan (antara pria dan wanita), maka disebutlah sadomasokisme.
Mayoritas orang dengan sadisme menjalin hubungan dengan masokis demi mendapatkan kepuasan seksual bersama. Pada hubungan tersebut, terdapat cerita atau ‘naskah’ yang telah disetujui bersama-sama. Misalnya, orang dengan sadisme berperan sebagai guru yang disiplin, sedangkan orang dengan masokisme berperan sebagai murid yang nakal dan perlu dihukum. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah pencambukan, pukulan, mempermalukan, dan lain-lain.
Pada beberapa kasus, seorang dengan sadisme dipenjarakan sebagai sex offender yang menyiksa korbannya, dan mendapatkan kepuasan seksual dari perbuatannya (Dietz, Hazelwood, & Warren, 1990). Dibandingkan dengan sex offenders lain, orang dengan sadisme seksual labih sering berkedok sebagai polisi, melakukan pembunuhan berseri, mengikat korban, serta menyembunyikan mayat (Gratzer & Bradford, 1995).
Etipologi Parafilia
§ Pandangan Psikodinamik
Menurut pandangan psikodinamik, parafilia pada dasarnya defensif, melindungi ego dari ketakutan dan ingatan dan direpres, dan mewakili fiksasi pada tahap pragenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang dengan parafilia dilihat sebagai seseorang yang takut akan hubungan heteroseksual yang konvensional, bahkan yang tidak melibatkan seks. Perkembangan sosial dan seksualnya tidak matang, terbelakang, dan tidak adekuat untuk hubungan sosial dan persetubuhan heteroseksual dengan orang dewasa (Lanyon, 1986).
§ Pandangan Behavioral dan Kognitif
Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari classical conditioning, yang secara kebetulan telah memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang dianggang tidak pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai parafilia bersifat multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang. Seringkali orang dengan parafilia mengalami penyiksaan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam keluarga yang hubungan antara orang tua dengan anak terganggu (Mason, 1997; Murphy, 1997).
Pengalaman-pengalaman awal ini dapat berkontribusi terhadap tingkat kemampuan sosial serta self-esteem yang rendah, kesepian, dan kurangnya hubungan intim yang sering terlihat pada parafilia (Kaplan & Kreuger, 1997; Marshall, Serran, & Cortoni, 2000). Kepercayaan bahwa sexual abuse pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk munculnya, ternyata, masih perlu ditinjau ulang. Berdasarkan penelitian, kurang dari sepertiga pelaku kejahatan seks merupakan korban sexual abuse sebelum mencapai usia 18 tahun.
Distorsi kognitif juga memiliki peran dalam pembentukan parafilia. Orang dengan parafilia dapat membuat berbagai pembenaran atas perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara lain dengan mengatribusikan kesalahan kepada orang atau hal lain, menjelek-jelekkan korban, atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu, berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan sosial yang tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang tua atau orang lain.
Terapi Parafilia
Karena sebagian besar parafilia ilegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk penjara, dan diperintahkan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku kejahatan seks tersebut seringkali kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilakunya. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan terapis untuk meningkatkan motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991):
1. Berempati terhadap keengganan untuk mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum.ikuti
2. Memberitahukan jenis-jenis perawatan yang dapat membantu mengontrol perilaku dengan baik dan menunjukkan efek negatif yang timbul apabila tidak dilakukan treatment.
3. Memberikan intervensi paradoksikal, dengan mengekspresian keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi untuk menjalani perawatan.
4. Menjelaskan bahwa akan ada pemeriksaan psikofisiologis terhadap rangsangan seksual pasien; dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus diucapkan atau diakui oleh pasien (Garland & Dougher, 1991).
Terdapat beberapa jenis perawatan untuk parafilia, yaitu terapi psikoanalitis, behavioral, kognitif, serta biologis. Terdapat pula usaha hukum untuk melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan seksual.
§ Terapi psikoanalitik
Pandangan psikoanalisa beranggapan bahwa parafilia berasal dari kelainan karakter, sehingga sulit untuk diberi perawatan dengan hasil yang memuaskan. Psikoanalisa belum mmberi kontribusi yang besar bagi penanganan parafilia secara efektif.
§ Teknik Behavioral
Para terapis dari aliran behavioral mencoba untuk mengembangkan prosedur terapeutik untuk mengubah aspek seksual individu. Pada awalnya, dengan pandangan bahwa parafilia merupakan ketertarikan terhadap obyek seksual yang tidak pantas, prosdur yang dilakukan adalah dengan terapi aversif. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan kejutan fisik saat seoseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan parafilia. Metode lain, disebut satiation; seseorang diminta untuk bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi dengan lantang. Kedua terapi tersebut, apabila digabungkan dengan terapi lai seperti pelatihan kemampuan sosial, dapat bermanfaat terhadap paedofilia, transvestisme, eksibisionisme, dan transvestisme (Brownell, Hayes, & barlow, 1977; Laws & Marshall, 1991; Marks & Gelder, 1967; Marks, Gelder, & Bancroft, 1970; Marshall & Barbaree, 1990).
Cara lain yang dilakukan adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.
§ Penanganan Kognitif
Prosedur kognitif sering digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada individu dengan parafilia. Diberikan pula pelatihan empati agar individu memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak program penanganan yang memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang.
§ Penanganan Biologis
Intervensi biologis yang sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru-baru ini, penanganan biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki, untuk menghambat rangsangan seksual. Walaupun demikian, terdapat masalah etis daripenggunaan obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang. Baru-baru ini, fluoxetine (Prozac) telah digunakan, karena obat tersebut kadang-kadang efektif untuk mengobati obsesi dan kompulsi. Karena parafilia terbentuk dari pikiran dan dorongan yang serupa dengan parafilia.
§ Usaha Hukum
Di Amerika, sebagai akibat dari tuntutan masyarakat, telah muncul hukum mengenai pelaku kejahatan seks. Dikenal sebagai Megan’s Law, hukum tersebut memungkinkan warga sipil untuk mendeteksi keberadaan mantan pelaku kejahatan seksual, yang dianggap berbahaya. Dengan hukum ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk mengulangi kejahatannya.