ANXIETY BASED DISORDER

Tiap manusia pasti mempunyai rasa cemas. rasa cemas ini biasanya terjadi pada saat adanya kejadian atau peristiwa tertentu, maupun dalam menghadapi suatu hal. Misalkan, orang merasa cemas, ketika tampil dihadapan banyak orang atau ketika sebelum ujian berlangsung, dan masih banyak lagi. Kecemasan yang dimiliki seseorang seperti diatas adalah normal. dan bahkan kecemasan ini perlu dimiliki oleh manusia. akan tetapi kecemasan berubah menjadi abnormal ketika kecemasan yang ada dalam diri individu menjadi berlebihan atau melebihi dari kapasitas umumnya. Individu yang mengalami gangguan seperti ini bisa dikatakan mengalami anxiety disorder (gangguan kecemasan) yaitu ketakutan yang berlebihan dan sifatnya tidak rasional. Seseorang dikatakan menderita anxiety disorder apabila kecemasan atau anxietas ini mengganggu aktivitas dalam kehidupan dari diri individu tersebut. salah satunya terganggunya fungsi sosial dalam diri individu. Misalnya, kecemasan yang berlebihan ini menghambat diri seseorang untuk menjalin hubungan akrab antar individu maupun kelompoknya.
Anxiety based disorder dibagi menjadi 3 bagian, yaitu anxiety based disorders, somatoform disorders, dan dissociative disorders.

ANXIETY DISORDER

1. Fobia
Fobia adalah ketakutan yang berlebihan yang disebabkan oleh benda, binatang ataupun peristiwa tertentu. sifatnya biasanya tidak rasional, dan timbul akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami individu. Fobia juga merupakan penolakan berdasar ketakutan terhadap benda atau situasi yang dihadapi, yang sebetulnya tidak berbahaya dan penderita mengakui bahwa ketakutan itu tidak ada dasarnya.
Fobia simpel: sumber binatang, ketinggian, tempat tertutup, darah. Yang menderita banyak wanita, dimulai semenjak kecil. Agorafobia: kata yunani, agpra = tempat berkumpul, pasar. Sekelompok ketakutan yang berpusat pada tempat-tempat publik: takut berbelanja, takut kerumunan, takut bepergian. Banyak yang minta pertolongan.
Banyak wanita yang menderita ini dimulai pada masa remaja dan permulaan dewasa.
Simtom: ketegangan, pusing, kompulsi, merenung, depresi, ketakutan menjadi gila.
90% dari suatu sampel: takut tempat tinggi, tempat tertutup, elevator. Fobia dibedakan menjadi dua jenis,yaitu:
a. Fobia Spesifik
Ketakutan berlebih yang disebabkan oleh benda, atau peristiwa traumatik tertentu, misalnya: ketakutan terhadap kucing (ailurfobia), ketakutan terhadap ketinggian (acrofobia), ketakutan terhadap tempat tertutup (agorafobia), fobia terhadap kancing baju, dsb.

b. Fobia Sosial
Ketakutan berlebih pada kerumunan atau tempat umum. ketakutan ini disebabkan akibat adanya pengalaman yang traumatik bagi individu pada saat ada dalam kerumunan atau tempat umum. misalnya dipermalukan didepan umum, ataupun suatu kejadian yang mengancam dirinya pada saat diluar rumah. Penyebab: pertahanan melawan kecemasan hasil dorongan id yang direpres (Teori Psikoanalitik). Kecemasan: pindahan impuls id yang ditakuti ke objek/situasi, yang mempunyai hubungan simbolik dengan hal tersebut, Menghindari konflik yang direpres. Cara ego untuk mcnghadapi masalah yang sesungguhnya konflik pada masa kanak-kanak yang direpres.

2. Obsesif Kompulsif
Seperti contoh Kasus dibawah ini: X adalah seorang remaja madya yang saat ini sedang kuliah disuatu universitas. sudah beberapa hari ini ia mempunyai kebiasaan aneh yang tidak bisa ia hentikan. kebiasannya adalah mencuci tangannya lebih dari 10x dalam satu hari. teman-temannya juga heran mengapa ia berperilaku seperti itu. ketika ia berkonsultasi kepada psikolog sekolahnya ia baru tahu apa yang terjadi padanya. psikolog menanyainya apa yang menyebabkannya seperti itu, lalu X mulai menceritakan kejadian apa yang sebenarnya ia lakukan.X adalah kakak dari A. saat kecil keduanya pernah bertengkar, X tanpa sengaja mengambil gunting dan menorehkannya ke lengan adiknya,A. akibatnya lengan A terluka dan menyebabkannya cacat. peristiwa ini membuatnya bersalah dan ia terus menerus memikirkan kesalahannya ini (obsesif), dan tiap kali ia mengingatnya ia akan mencuci tangannya berulang-ulang. (kompulsif). Berdasarkan cerita diatas, kita bisa melihat bahwa obsesif adalah pemikiran yang berulang dan terus-menerus. Sedangkan kompulsif adalah pelaksanaan dari pemikirannya tersebut. Perilaku ini merupakan ritual pembebasan dari dosa pada orang tersebut. dengan mencuci tangan ia berharap bisa membersihkan dari dosa yang telah ia perbuat. obsesif kompulsif ini biasanya cenderung pada perilaku bersih-bersih. Perilaku seperti ini sebenarnya banyak terjadi pada lingkungan kita tetapi, kita kadang malah menganggap perilaku ini wajar. 1-3% dari populasi.

Dewasa muda, mengikuti kejadian yang penuh stres: kehamilan, kelahiran, konflik keluarga, kesulitan dalam pekerjaan, keadaan depresi. Penderita obsesif-kompulsif sering menderita depresi. Obsesi: pikiran yang berkali-kali datang yang mengganggu - tampak tidak rasional, tidak dapat dikontrol → mengganggu hidup. Dapat berbentuk keragu-raguan yang ekstrim, penangguhan tidak dapat membuat keputusan. pasien tidak dapat mengambil kesimpulan. Kompulsi: impuls yang tidak dapat ditolak mengulangi tingkah laku ritualistik berkali-kali. Kompulsi sering berhubungan dengan kebersihan dan keteraturan. Penderita merasa apa yang dilakukannya asing. Ada 5 bentuk obsesi:

1. Kebimbangan yang obsesif: pikiran bahwa suatu tugas yang telah selesai tidak secara baik (75% dari pasien).
2. Pikiran yang obsesif: pikiran berantai yang tidak ada akhirnya. Biasanya fokus pada kejadian yang akan datang (34% dari pasien).
3. Impuls yang obsesif; dorongan untuk melakukan suatu perbuatan (17%).
4. Ketakutan yang obsesi kecemasan untuk kehilangan kontrol dan melakukan sesuatu yang memalukan (26%)
5. Bayangan obsesif: bayangan terus menerus mengenai sesuatu yang dilihat (7%).

Kompulsi (2 macam).
1. Dorongan kompulsif yang memaksa suatu perbuatan: melihat pintu berkali-kali (61%).
2. Kompulsi mengontrol: mengontrol dorongan kompulsi (tidak menuruti dorongan tersebut): mengontrol dorongan inses dengan berkali-kali menghitung sampai 10.
Rochman dan Hodgson; dua macam kompulsi: membersihkan dan mengecek.

3. Post Traumatik-Stress Disorder (PTSD/ Gangguan Stress Pasca Trauma)
PTSD merupakan kecemasan akibat peristiwa traumatik yang biasanya dialami oleh veteran perang atau orang-orang yang mengalami bencana alam . PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat mengembangkan PTSD. Simtom dan diagnosis:
Akibat kejadian traumatik atau bencana yang tingkatnya sangat buruk: perkosaan, peperangan, bencana alam, ancaman yang serius terhadap orang yang sangat dicintai, melihat orang lain disakiti atau dibunuh. Akan berakibat tidak dapat konsentrasi, mengingat, tidak dapat santai, impulsif, mudah terkejut, gangguan tidur, cemas, depresi, mati rasa; hal-hal yang menyenangkan tidak menarik lagi, ada perasaan asing terhadap orang-lain dan yang lampau. Kalau trauma dialami bersama orang lain, dan yang lain mati: ada rasa bersalah, sering terjadi mimpi buruk atau gangguan tidur.

Gangguan pasca trauma dapat akut, kronis atau lambat, trauma akibat orang, perang, serangan fisik atau penganiayaan berlangsung lebih lama daripada trauma setelah bencana alam. Simtom memburuk jika dihadapkan kepada situasi yang mirip. Dapat terjadi pada anak dan orang dewasa. Simtom pada anak: mimpi tentang monster atau perubahan tingkah laku: ramai → pendiam. Riwayat psikopatologi pada keluarga memegang peranan
Perlakuan. Dapat melalui terapi kelompok. Dengan cara ini penderita mendapatkan support dari teman-temannya.

4. GAD (Generalized Anxiety Desease: Gangguan Kecemasan Tergeneralisasikan)
Tanda-tanda; kecemasan kronis terus menerus rnencakup situasi hidup (cemas akan terjadi kecelakaan, kesulitan finansial). Ada keluhan somatik: berpeluh, merasa panas, jantung berdetak keras, perut tidak enak, diare, sering buang air kecil, dingin, tangan basah, mulut kering, tenggorokan terasa tersumbat, sesak nafas, hiperaktivitas sistem saraf otonomik. Merasa ada gangguan otot: ketegangan atau rasa sakit pada otot terutama pada leher dan bahu, pelupuk mata berkedip terus, bcrgetar, mudah lelah, tidak mampu untuk santai, mudah terkejut, gelisah, sering berkeluh. Cemas akan terjadinya bahaya, cemas kehilangan kontrol, cemas akan mendapatkan.serangan jantung, cemas akan mati. Sering penderita tidak sabar, mudah marah, tidak dapat tidur, tidak dapat konsentrasi.

5. Gangguan Panik
Tanda-tanda: sekonyong-sekonyong\sesak nafas, detak jantung keras, sakit di dada, merasa tercekik, pusing, berpeluh, bergetar, ketakutan yang sangat akan teror, ketakutan akan ada hukuman. Depersonalisasi dan derealisasi: perasaan ada di luar badan, merasa dunia tidak nyata, ketakutan kehilangan kontrol, ketakutan menjadi gila, takut akan mati. Terjadinya: sering, sekali seminggu atau lebih sering. Beberapa menit. Dihubungkan dengan situasi khusus, misalnya mengendarai mobil. Laki-laki 0,7%, wanita 1%

4 kali serangan panik dalam 4 minggu, satu serangan diikuti ketakutan terjadinya serangan lagi paling sedikit 1 bulan. Serangan panik dapat diikuti agorafobia, 80% penderita panik juga menderita gangguan kccemasan yang lain. Sering juga ada depresi terdapat dalam keluarga. Sering penyebabnya fisiologis, misalnya gangguan jantung. Penderita panik sering merasa bahwa penyakitnya parah menyebabkan panik.

PANDANGAN PSIKOSOSIAL MENGENAI ANXIETY DISORDER

Pada kategori diagnostic utama psikopatologi secara garis besar di bagi menjadi dua bagian yaitu neurosis dan psikosis. Neurosis merupakan penyakit mental yang belum begitu menghawatirkan karena baru masuk dalam kategori gangguan-gangguan, baik dalam susunan syaraf maupun kelainan prilaku, sikap dan aspek mental lainnya. Dan gangguan kecemasan merupakan psikopatologi yang neurosis. Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya prasaan takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan (Davison & Neale. 2001. Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994). Mengemukakan takut dan cemas merupakan dua emosi yang berfungsi sebagai tanda akan adanya suatu bahaya. Rasa takut muncul jika terdapat ancaman yang jelas, berasal dari lingkungan dan tidak menimbulkan konflik bagi individu sedangkan kecemasan muncul jika bahaya berasal dari dalam diri, tidak jelas, atau menyebabkan konflik bagi individu. Menurut Davison & Neale,2001 gangguan cemas berbeda dengan kecemasan normal dalam hal intensitas durasi serta dampaknya bagi individu

a. Psikodinamik
Berdasarkan sumbernya, freud membedakan kecemasan menjadi dua yaitu kecemasan realitas dan kecemasan neurotic. Kecemasan realitas adalah yang berasal dari kecemasan yang nyata, sedangkan kecemasan neurotic yang berasal dari motif dan konflik yang tidak disadari. Freud berpendapat kecemasan neurotic muncul dari konflik intrapsikis, misalnya yang dijelaskan pada fobia ketika dorongan id (seks & agresi) bertentangan dengan tuntutan super ego atau dapat dikatakan dorongan id berlawanan dengan tuntutan lingkungan eksternal, sehingga untuk menghindari sumber kecemasan internal tersebut ego mengalihkannya ( melakukan displacement) kepada ancaman yang obyeknya bisa diperoleh dari lingkungan. Sebagaimana yang dikutip oleh Kaplan, Sadock, & Grebb (1994) mengemukakan bahwa fungsi utama dari kecemasan adalah memberi tanda kepada ego bahwa dorongan terlarang yang berasal dari ketidak sadaran akan muncul ke kesadaran. Dan fobia adalah hasil dari upaya untuk menghindar dari konflik yang direpres, dan kecemasan yang timbul dialihkan pada obyek atau situasi yang memiliki hubungan simbolik dengannya (yaitu stimulus yang ditakuti).

Sedangkan pada gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety disorder), dalam sudut pandang psikoanalisa bersumber dari konflik tidak sadar antara ego dan impuls dari id, yaitu ego yang menahan untuk memenuhi dorongan karena karena khawair dengan hukuman yang diterima. Konflik antara id dan ego ini berlangsung secara terus menerus, dan penderita tidak mampu meindahkannya pada obyek tertentu seperti pada fobia, hal ini menjadikan kecemasan muncul hamper setiap saat. Dalam pandangan Psikodinamika modern sepakat pada pandangan freud tentang gejala kecemasan merupakan pertahanan terhadap konflik, tapi sumber kecemasan tidak terbatas pada dorongan biologis saja melainkan mencakup tuntutan dan frustasi yang berasal dari lingkungan social dan hubungan interpersonal. Misalnya seseorang yang tak berani berbicara didepan umum, sumber masalahnya menurut teori ini adalah berasal dari perasaan rendah dirinya. Orang dengan kepercayaan diri yang rendah akan merasa cemas pada situasi dimana dia bisa dilihat, dinilai atau dikritik orang lain, dan dia akan cenderung menghindari situasi tersebut. Psiko dinamika berasumsi bahwa bahwa gejala kecemasan hanyalah indicator adanya masalah yang lebih mendalam dan tidak disadari. Dalam perspektif psikodinamika, memandang kecemasan sebagai suatu usaha ego untuk mengendalikan munculnya impuls-impuls yang mengancam kesadaran. Dan perasaan-perasaan kecemasan adalah tanda-tanda peringatan bahwa impuls-impuls yang mengancam mendekat ke kesadaran. Ego menggerakkan mekanisme pertahanan diri untuk mengalihkan impuls-impuls tersebut yang kemudian mengarah menjadi gangguan-gangguan kecemasan lainnya.

Gangguan obsesif kompulsif: fiksasi masa anal (Adler), anak terhalang mengembangkan kompetensinya → rendah diri → secara tidak sadar mengembangkan ritual yang kompulsif untuk membuat daerah yang dapat dikontrol dan merasa mampu → membuat orang tersebut merasa menguasai cara menguasai sesuatu.

Generalized Anxiety Disorder: penyebab konflik antara impuls id dan ego yang tidak disadari. Impuls itu seksual atau agresif → ingin keluar, dihalangi → tidak disadari → cemas (psikoanalitik). Teori belajar: kondisioning klasik dari rangsang luar. Kognitif behavioral: memfokus kontrol dan ketidakberdayaan. Terapi: psikomatis sama dengan fobia.

b. Behaviorisme
Kemudian pada behaviorisme lebih menekankan pada perilaku maladaptive tersebut, perilaku maladaptive seperti gangguan fobia dapat dijelaskan dengan prinsip belajar, antara lain:
• UCS → CS → UCR
• Modelling: ketakutan yang dipelajari atau didapat dari instruksi verbal/deskripsi dari orang lain.
• Devisit dalam ketrampilan social.

Dalam teori ini dikatakan bahwa salah satu yang merupakan penyebab kecemasan adalah kurangnya ketrampilan social. teoritikus belajar menjelaskan gangguan-ganguan kecemasan melalui pembelajaran observasional dan conditioning. Model dua faktor dari Mowrer memasukkan clasical dan operant conditioning dalam penjelasan tentang fobia. Meskipun demikian, fobia tampaknya dipengaruhi juga oleh faktor kognitif, seperti harapan-harapan self-efficacy. Prinsip-prinsip penguatan mungkin dapat membantu menjelasakan pola-pola tingkah laku obsesif-kompulsif. Kemungkinan ada predisposisi genetis untuk fobia tertentu yamng mempunyai nilai-nilai untuk kelangsungan hidup (survival) bagi nenek moyang kita terdahulu.
Pendekatan-pendekatan dengan dasar belajar dalam menangani kecemasan melibatkan berbagai macam teknik behavioral dan kognitif-behavioral, termasuk terapi pemaparan, restrukturisasi kognitif, pemaparan dan pencegahan respon, serta pelatihan keterampilan relaksasi. Pendekatan-pendekatan kognitif seperti terapi tingkah laku rasional-emotif dan terapi kognitif, membantu orang untuk mengidentifikasi dan membetulkan pola-pola pikir yang salah yang melandasi reaksi-reaksi kecemasan. Untuk terapi kognitif-behavioral, menangani gangguan panik, melibatkan self-monitoring, pemaparan, dan pengembangan respons-respons adaptif terhadap sinyal-sinyal pembangkit kecemasan

c. Cognitive
Pada sudut pandang kognitif kecemasan berhubungan dengan kecenderungan untuk lebih memperhatikan stimulus negatif, menginterpretasikan informasi yang ambigu sebagai ancaman dan percaya bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan akan terjadi lagi dimasa mendatang. Matthew dan Mc Leod (Davison & Neale, 2001) seperti prediksi berlebih terhadap ketakutan, keyakinan yang self-defeating dan irasional, sensivitas berlebih mengenai sinyal-sinyal dan tanda-tanda ancaman, harapan-harapan self-efficacy yang terlalu rendah dan salah mengartikan sinyal-sinyal tubuh.
Untuk meminimalisir terjadinya kecemasan pada diri seseorang terdapat beberapa terapi. Psikoanalisis radisional membantu orang untuk mengatasi konflik-konflik tak sadar yang diyakini mendasari gangguan-gangguan kecemasan. Pendekatan-pendekatan psiko- dinamika yang modern lebih berfokus pada gangguan relasi yang ada dalam kehidupan klien saat ini dan mendorong klien untuk mengembangkan pola tingkah laku yang lebih adaptif.

d. Humanistik
Para tokoh humanistik percaya bahwa kecemasan itu berasal dari represi sosial diri kita yang sesungguhnya. Kecemasan terjadi bila ketidaksadaran antara inner self seseorang yang sesungguhnya dan kedok sosialnya mendekat ke taraf kesadaran.
Terapi humanistik lebih berfokus pada membantu klien mengidentifikasi dan menerima dirinya yang sejati dan bukan bereaksi pada kecemasan setiap kali perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhannya yang sejati mulai muncul ke permukaan. Sedangkan untuk terapi obat, berfokus pada penggunaan obat benzodiazepin dan obat-obat antidepresen (yang mempunyai efek lebih daripada hanya sebagai antidepresan)...

TERAPI GANGGUAN KECEMASAN
Pendekatan-pendekatan psikologis berbeda satu sama lain dalam tekhnik dan tujuan penanganan kecemasan. Tetapi pada dasarnya berbagai tekhnik tersebut sama-sama mendorong klien untuk menghadapi dan tidak menghindari sumber-sumber kecemasan mereka. Dalam menangani gangguan kecemasan dapat melalui beberapa pendekatan:
• Pendekatan-Pendekatan Psikodinamika
Dari perspektif psikodinamika, kecemasan merefleksikan energi yang dilekatkan kepada konflik-konflik tak sadar dan usaha ego untuk membiarkannya tetap terepresi. Psikoanalisis tradisional menyadarkan bahwa kecemasan klien merupakan simbolisasi dari konflik dalam diri mereka. Dengan adanya simbolisasi ini ego dapat dibebaskan dari menghabiskan energi untuk melakukan represi. Dengan demikian ego dapat memberi perhatian lebih terhadap tugas-tugas yang lebih kreatif dan memberi peningkatan. Begitu juga dengan yang modern, akan tetapi yang modern lebih menjajaki sumber kecemasan yang berasal dari keadaaan hubungan sekarang daripada hubungan masa lampau. Selain itu mereka mendorong klien untuk mengembangkan tingkah laku yang lebih adaptif.

• Pendekatan-Pendekatan Humanistik
Terapis-terapis humanistik bertujuan membantu orang untuk memahami dan mengekspresikan bakat-bakat serta perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya. Sebagai akibatnya, klien menjadi bebas untuk menemukan dan menerima diri mereka yang sesunggguhnya dan tidak bereaksi dengan kecemasan bila perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya dan kebutuhan-kebutuhan mereka mulai muncul ke permukaan.

• Pendekatan-Pendekatan Biologis
Pendekatan ini biasanya menggunakan variasi obat-obatan untuk mengobati gangguan kecemasan. Diantaranya golongan benzodiazepine Valium dan Xanax (alprazolam). Meskipun benzodiazepine mempunyai efek menenangkan, tetapi dapat mengakibatkan depensi fisik. Obat antidepresi mempunyai efek antikecemasan dan antipanik selain juga mempunyai efek antidepresi.

• Pendekatan-Pendekatan Belajar
Efektifitas penanganan kecemasan dengan pendekatan belajar telah banyak dibenarkan oleh beberapa riset. Inti dari pendekatan belajar adalah usaha untuk membantu individu menjadi lebih efektif dalam menghadapi situasi yang menjadi penyebab munculnya kecemasan tersebut. Ada beberapa macam model terapi dalam pendekatan belajar, diantaranya
a. Pemaparan Gradual
Metode ini membantu mengatasi fobia ataupun kecemasan melalui pendekatan setapak demi setapak dari pemaparan aktual terhadap stimulus fobik. Efektifitas terapi pemaparan sudah sangat terbukti, membuat terapi ini sebagai terapi pilihan untuk menangani fobia spesifik. Pemaparan gradual juga banyak dipakai pada penanganan agorafobia. Terapi bersifat bertahap menghadapkan individu yang agorafobik kepada situasi stimulus yang makin menakutkan, sasaran akhirnya adalah kesuksesan individu ketika dihadapkan pada tahap terakhir yang merupakan tahap terberat tanpa ada perasaan tidak nyaman dan tanpa suatu dorongan untuk menghindar. Keuntungan dari pemaparan gradual adalah hasilnya yang dapat bertahan lama. Cara Menanggulangi ataupun cara membantu memperkecil kecemasan:
b. Rekonstruksi Pikiran
Yaitu membantu individu untuk berpikir secara logis apa yang terjadi sebenarnya. biasanya digunakan pada seorang psikolog terhadap penderita fobia.
c. Flooding
Yaitu individu dibantu dengan memberikan stimulus yang paling membuatnya takut dan dikondisikan sedemikan rupa serta memaksa individu yang menderita anxiety untuk menghadapinya sendiri.

• Terapi Kognitif
Terapi yang dilakukan adalah melalui pendekatan terapi perilaku rasional-emotif, terapi kognitif menunjukkan kepada individu dengan fobia sosial bahwa kebutuhan-kebutuhan irrasional untuk penerimaan-penerimaan sosial dan perfeksionisme melahirkan kecemasan yang tidak perlu dalam interaksi sosial. Kunci terapeutik adalah menghilangkan kebutuhan berlebih dalam penerimaan sosial. Terapi kognitif berusaha mengoreksi keyakinan-keyakinan yang disfungsional. Misalnya, orang dengan fobia sosial mungkin berpikir bahwa tidak ada seorangpun dalam suatu pesta yang ingin bercakap-cakap dengannya dan bahwa mereka akhirnya akan kesepian dan terisolasi sepanjang sisa hidup mereka. Terapi kognitif membantu mereka untuk mengenali cacat-cacat logis dalam pikiran mereka dan membantu mereka untuk melihat situasi secara rasional. Salah satu contoh tekhnik kognitif adalah restrukturisasi kognitif, suatu proses dimana terapis membantu klien mencari pikiran-pikiran dan mencari alternatif rasional sehingga mereka bisa belajar menghadapi situasi pembangkit kecemasan.

• Terapi Kognitif Behavioral (CBT)
Terapi ini memadukan tehnik-tehnik behavioral seperti pemaparan dan tehnik-tehnik kognitif seperti restrukturisasi kognitif. Beberapa gangguan kecemasan yang mungkin dapat dikaji dengan penggunaan CBT antara lain : fobia sosial, gangguan stres pasca trauma, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif dan gangguan panik. Pada fobia sosial, terapis membantu membimbing mereka selama percobaan pada pemaparan dan secara bertahap menarik dukungan langsung sehingga klien mampu menghadapi sendiri situasi tersebut

GANGGUAN SOMATOFORM (SOMATOFORM DISORDERS)

Gangguan somatoform adalah kelompok gangguan yang meliputi simtom fisik (misalnya nyeri, mual, dan pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara medis. Berbagai simtom dan keluhan somatic tersebut cukup serius, sehingga menyebabkan sters emosisional dan gangguan dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam kehidupan social dan pekerjaan. Diagnosis ini diberikan apabila diketahui bahwa factor psikologis memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat keparahan serta lamanya gangguan dialami (Kaplan, sadock, & Grebb, 1994).
Gangguan somatoform meliputi beberapa gangguan kesehatan mental dimana orang melaporkan gejala-gejala fisik atau keprihatinan yang diduga tetapi tidak dijelaskan oleh gangguan fisik atau melaporkan merasa cacat pada penampilan. Gejala-gejala atau keprihatinan ini menyebabkan gangguan yang berarti atau berhubungan dengan fungsi sehari-hari.
Stress bisa menyebabkan gejala-gejala fisik bahkan ketika tidak terdapat penyakit fisik. Misal, pinggul bisa mengalami pada keseluruhan reaksi psikologi. Pada beberapa kasus, gejala-gejala fisik dihasilkan dari reaksi ototmatis tubuh terhadap gangguan emosional, seperti ketika denyut jantung dan tekanan darah meningkat dalam reaksi terhadap takut. Pada kasus lainnya, gejala-gejala psikologi menjadi gejala-gejala fisik pada usaha yang tidak disadari untuk mengalihkan perhatian dari masalah emosional yang menyusahkan.

Kadangkala gejala-gejala fisik adalah sebuah metafora untuk masalah psikologi orang tersebut, seperti ketika seseorang dengan ‘patah hati’ mengalami nyeri pada dada. Lain waktu, gejala-gejala fisik merefleksikan identifikasi dengan nyeri orang lain. Misal, seseorang bisa mengalami nyeri dada setelah seorang anggota keluarga atau teman telah mengalami serangan jantung. Akhirnya, gejala psikologi bisa menjadi gejala fisik sebagimana cara mengalami kembali sebuah gejala pada gangguan fisik sebelumnya. Misal, seseorang pernah mengalami patah tulang yang menyakitkan bisa kembali mengalami bahwa jenis nyeri tulang ketika gejala psikologi menjadi nyeri tulang. Gejala-gejala fisik yang meningkat dari gejala-gejala fisik cenderung menjadi ringan dan sementara waktu saja. Proses pada gejala-gejala psikologi tersebut menjadi gejala-gejala fisik bisa mempengaruhi orang yang tidak mengalami gangguan kesehatan mental yang mendasari. Siapa saja bisa mengalami proses ini. gejala-gejala yang dihasilkan bisa sulit untuk didiagnosa seorang dokter, dan seseorang kemungkinan mengalami tes diagnosa bermacam-macam untuk menghilangkan kemungkinan gangguan fisik yang mendasarinya.
Faktor-faktor psikologi bisa juga tidak secara langsung mempengaruhi bagian pada sebuah penyakit. Misalnya, seseorang dengan tekanan darah tinggi bisa menolak memilikinya atau menolak hal itu adalah serius. Penolakan adalah sebuah mekanisme pertahanan yang membantu mengurangi kegelisahan. Meskipun begitu, penolakan bisa mencegah seseorang mentaati pengobatan. Pada kasus ini, orang dengan tekanan darah tinggi bisa gagal untuk melakukan pengobatan yang diresepkan, dengan demikian memperburuk keadaan tersebut. dan sebaliknya, penyakit fisik bisa menyebabkan kondisi psikologi. Misal, orang dengan gangguan fisik yang mengancam nyawa, berulang, atau kronis umunya menjadi tertekan. Tekanan tersebut, sebaliknya, memperburuk efek pada penyakit fisik.

Soma berarti tubuh. Pada gangguan somatoform, masalah psikologis tampak dalam bentuk fisik. Gejala fisik dari gangguan somatoform, dimana tidak ada penjelasan secara fisiologis dan tidak dapat dikontrol secara sadar, berkaitan dengan faktor psikologis, biasanya kecemasan, dan untuk itu diasumsikan bahwa gangguan ini disebabkan oleh faktor psikologis. Pada bagian ini akan lebih dibahas mengenai dua gangguan somatoform yakni gangguan conversion dan gangguan somatization. Akan tetapi sebelumnya juga perlu diketahui bahwa dalam kategori DSM-IV-TR terdapat tiga bentuk lain dari gangguan somatoform, yakni pain disorder, body dysmorphic disorder, dan hypochondriasis.

Gangguan somatoform meliputi beberapa gangguan kesehatan mental dimana orang melaporkan gejala-gejala fisik atau keprihatinan yang diduga tetapi tidak dijelaskan oleh gangguan fisik atau melaporkan merasa cacat pada penampilan. Gejala-gejala atau keprihatinan ini menyebabkan gangguan yang berarti atau berhubungan dengan fungsi sehari-hari.

PENGERTIAN DAN GEJALA
1. Pain Disorder
Pada pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan;faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai pain disorder terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik. Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Pada gangguan ini individu akan mengalami gejala sakit dan nyeri pada satu tempatatau lebih, yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis (non psikiatris) maupun neurologis. Simtom ini menimbulkan stress emosional ataupun gangguan fungsional, dan gangguan ini di anggap memiliki hubungan sebab akibat dengan factor psikologis. Keluhan yang dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif, atensi, dan situasi (Kaplan , sadock, dan Grebb, 1994).

Prevalensi gangguan nyeri pada perempuans 2 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan puncak onsetnya terjadi sekitar usia 40-50 tahun mungkin karena pada usia tersebut toleransi terhadap rasa sakit sudah berkurang.

Terapi untuk Pain Disorder
Berdasarkan mutakhir, biasanya tidak ada gunanya membuat perbedaan yang tajam antara rasa nyeri psikogenik dan rasa nyeri yang benar-benar di sebabkan oleh factor medis, seperti cedera jaringan otot. Umumnya diasumsikan bahwa rasa nyeri selalu mengandung kedua komponen tersebut. Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut :
• Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita.
• Relaxation training
• Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri. Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.
Etiologi dari gangguan ini dapat di bahas dari beberapa sudut pandang psikodinamika:
Mengemukakan bahwa rasa sakit yang dialami penderita mungkin secara simbolis mengekspresikan konflik intrapsikis pada keluhan tubuh.

2. Body Dysmorphic Disorder
Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini & Philips daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka (Veale dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Faktor social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan. Penyebab gangguan ini hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Namun dirpekirakan mungkin terdapat hubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau social, dengan adanya konsep stereotip tentang kecantikan. Sedangkan menurut model psikodinamik, gangguan ini merefleksikan pemindahan konflik seksual atau emosional pada bagian tubuh yang tidak berhubungan. Mekanisme defensif yang digunakan adalah represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi, dan proyeksi.

3. Hypochondriasis
Kata hypochondrias berasal dari istilah medis lama hypochondrium, yang berarti di bawah tulang rusuk, dan merefleksikan gangguan pada bagian perut yang sering dikeluhkan pasien hipokondrias. Hypochondriasis adalah gangguan somatoform dimana individu diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang serius dimana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood. Etiologi gangguan adalah bahwa pasien cenderung berfokus pada sensasi ketubuhan, salah menginterprestasikannya, dan menjadi waspada karena adanya skema kognitif yang salah. Teori lain menyebutkan bahwa simtom hipokondrias hanyalah varian dari gangguan mental. Sedangkan yang ke empat bahwa dorongan agresi atau kekejaman terhadap orang lain di transfer (melalui represi dan displasment) ke dalam keluhan fisik.
Terapi untuk Hypochondriasis
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick, 1986;Visser&Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

4. Conversion disorder
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik. Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Conversion disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder (Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Teori Psikoanalisis
Pada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud menyebutkan bahwa conversion disorder disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran. Gejala khusus conversion disebutkan dapat berhubungan seba-akibat dengan peristiwa traumatis yang memunculkan gejala tersebut.
Freud juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal kehidupan, diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan. Berdasarkan pandangan psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports dan tingkah laku dapat terpisah satu sama lain secara tidak sadar.Hysterically blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat dan secara bersamaan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka menunjukkan bahwa mereka dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya.

Teori Behavioral
Pandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul? Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion. Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut harus diberikan reward. Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain. Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti literatur.

Faktor Sosial dan Budaya
Salah satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan dalam conversion disorder ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad terakhir. Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini. Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan hal fisiologis daripada sebelumnya. Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang rendah (Binzer et al.,1996;Folks, Ford&Regan, 1984 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum berkembang, seperti Libya (Pu et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Faktor Biologi
Meskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala conversion lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan (Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan penemuan menarik karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

5. Somatization Disorder
Menurut DSM-IV-TR kriteria dari somatization disorder adalah memiliki sejarah dari banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala sexual, dan 1 gejala pseudoneurological; gejala-gejala yang timbul tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan dalam memberikan kondisi medis yang dialami. Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispanic (Escobar et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Terapi untuk Somatization Disorder
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Gangguan somatization adalah gangguan kronik, yang parah ditandai oleh berbagai gejala-gejala fisik berulang, terutama sekali beberapa kombinasi rasa sakit dan pencernaan, seksual, dan gejala-gejala neurologis, yang tidak dapat dijelaskan dengan gangguan secara fisik.
Gejala-gejala fisik dimana orang dengan gangguan somatization memiliki pengalaman yang menunjukkan cara berkomunikasi memohon pertolongan dan perhatian. Intensitas dan lamanya gejala-gejala mencerminkan hasrat kuat orang tersebut untuk diperdulikan untuk setiap aspek kehidupan. Gejala-gejala tersebut bisa juga menghadirkan tujuan-tujuan lain, seperti membiarkan orang tersebut untuk menghindari tanggungjawab orang dewasa. Gejala-gejala tersebut cenderung menjadi tidak nyaman dan mencegah orang tersebut dari berhubungan dalam banyak pencarian yang menyenangkan, diduga bahwa orang tersebut juga merasa sangat tidak berharga dan bersalah.

Gejala
Gejala-gejala muncul pertama kali pada remaja atau awal masa dewasa. Seseorang dengan gangguan somatization mengalami banyak keluhan fisik, seringkali dijelaskan sebagai ‘tak tertahankan’, ‘melebihi gambaran’, atau ‘hal paling buruk yang bisa dibayangkan’. Setiap bagian tubuh kemungkinan terkena, dan gejala-gejala khusus dan frekwensi berbeda-beda mereka diantara budaya yang berbeda. Gejala-gejala khas termasuk sakit kepala, mual dan muntah, nyeri perut, diare atau sembelit, periode menstruasi yang nyeri sekali, letih, pingsan, nyeri selama berhubungan intim, dan kehilangan hasrat seks. Pria sering mengeluh ereksi atau disfungsi seks lainnya. Gelisah dan depresi juga terjadi.

Orang dengan gangguan somatization terus meningkatkan permintaan bantuan dan dukungan emosi dan bisa menimbulkan marah ketika mereka merasa kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Dalam upaya memanipulasi orang lain, mereka bisa mengancam nyawa atau berusaha bunuh diri. Seringkali tidak dipuaskan dengan perawatan kesehatan mereka, mereka pergi dari dokter ke dokter.

Diagnosa
Orang dengan gangguan somatization tidak mengetahui masalah dasar mereka adalah psikologi, sehingga mereka memaksa dokter mereka untuk tes diagnosa dan pengobatan. Dokter tersebut biasanya melakukan banyak pemeriksaan fisik dan tes untuk memastikan apakah orang tersebut memiliki gangguan fisik yang cukup menjelaskan gejala-gejala tersebut. menyerahkan kepada spesialis untuk konsultasi adalah sering terjadi, bahkan jika orang tersebut telah mengalami hubungan memuaskan yang layak
dengan satu dokter. Ketika seorang dokter memastikan bahwa masalah tersebut adalah masalah psikologis, gangguan somatization bisa membedakan dari gangguan kesehatan mental serupa dengan banyak gejala-gejala dan kecendrungan mereka yang berlangsung lebih dari satu periode tahunan. Menambahkan diagnosa tersebut adalah keluhan alami yang dramatis dan ketergantungan orang tersebut dan kadangkala tingkah laku bunuh diri.

Pengobatan
Gangguan somatization cenderung berubah-ubah kerasnya tetapi berlangsung sepanjang hidup. Kesembuhan gejala-gejala sepenuhnya untuk waktu yang panjang jarang terjadi. Beberapa orang menjadi lebih tertekan setelah beberapa tahun. Bunuh diri adalah sebuah resiko. Pengobatan sangat sulit. Orang dengan gangguan somatization cenderung menjadi frustasi dan marah dengan berbagai dugaan bahwa gejala-gejala mereka adalah masalah psikologis. Oleh karena itu, dokter tidak bisa mengetahui secara langsung masalah psikologis seorang pasien, bahkan ketika mereka mengenalinya. Terapi obat tidak cukup menolong, dan bahkan jika orang tersebut setuju untuk konsultasi kesehatan mental, teknik psikoteraupetik khusus tidak mungkin bermanfaat. Biasanya, seseorang dengan gangguan ini paling baik ditolong dengan mempercayai hubungan dengan seorang dokter, yang bisa menawarkan meringankan yang merupakan gejala dan melindungi orang tersebut dari diagnosa yang sangat mahal dan berbahaya atau prosedur teraupetik. Meskipun begitu, dokter tersebut harus tetap waspada terhadap kemungkinan bahwa orang tersebut bisa mengalami gangguan fisik nyata.

Etiologi dari Somatization Disorder
Diketahui bahwa individu yang mengalami somatization disorder biasanya lebih sensitive pada sensasi fisik, lebih sering mengalami sensasi fisik, atau menginterpretasikannya secara berlebihan (Kirmayer et al.,1994;Rief et al., 1998 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Kemungkinan lainnya adalah bahwa mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada orang lain (Rief&Auer dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Pandangan behavioral
Berbagai rasa sakit dan nyeri, ketidaknyamanan, dan disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari kecemasan yang tidak realistis terhadap sistem tubuh. Berkaitan dengan hal ini, ketika tingkat kecemasan tinggi, individu dengan somatization disorder memiliki kadar cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa mereka sedang stress (Rief et al., daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Barangkali rasa tegang yang ekstrim pada otot perut mengakibatkan rasa pusing atau ingin muntah. Ketika fungsi normal sekali terganggu, pola maladaptif akan diperkuat dikarenakan oleh perhatian yang diterima.

PANDANGAN PSIKOSOSIAL MENGENAI SOMATOFORM DISORDER
a. Psikodinamik
Freud berkeyakinan bahwa ego berfungsi untuk mengontrol impuls seksual dan agresi yang mengancam, dan tidak dapat diterima, yang timbul dari id melalui mekanisme pertahanan diri seperti represi. Kontrol seperti ini menghambat timbulnya kecemasan yang akan terjadi bila seseorang tersebut menjadi sadar akan adanya impuls-impuls. Pada sejumlah kasus, emosi atau energi sisa yang tertahan atau dipotong, dari impuls yang mengancam dikonversikan ke dalam symptom fisik seperti kelumpuhan dan kebutaan histerikal. Satu masalah dari pandangan Freud adalah tidak menjelaskan bagaimana energy sisa dari konflik yang tidak disadari ditransformasikan ke dalam symptom fisik.
Keuntungan sekunder dapat memungkinkan individu untuk menghindari tanggung jawab yang membebani dan untuk mendapatkan dukungan dari orang di sekitarnya.
b. Behavioral
Dalam pandangan behavioral, symptom dan gangguan konversi dan somatoform lain juga membawa keuntungan, atau hal-hal yang me-reinforcing peran sakit. Orang dengan gangguan konversi dapat terbebaskan dari tugas atau tanggung jawab konversi dapat terbebaskan dari tugas atau tanggung jawb seperti pergi kerja atau melakukan tugas rumah tangga. Menjadi sakit biasanya akan mendapat simpati dan dukungan. Orang yang menerima penguatan semacam ini saat sakit di masa lalu cenderung belajar untuk mengadopsi peran sakit bahkan saat ia sedang tidak sakit.
Sejumlah teoritikus behavioral menghubungkan hipokondriasis, dismorfik tubuh dengan obsesif kompulsif. Pada hipokondria, orang terganggu dengan pikiran-pikiran yang obsesif dan menimbulkan kecemasan mengenai kesehatan mereka. Pergi ke satu dokter ke dokterlain tidak memuaskn rasa cemasnya akan kesehatannya. Hal itu juga terjadi pada gangguan dismorfik tubuh, berdandan dan memotong yang terus-menerus dalam usaha untuk memperbaiki kekurangan fisik yang dilakukan tidak pernah cukup untuk menghilangkan kekhawatiran yang mendasarinya. Satu emungkinan adalah bahwa hipokondi dan gangguan dismorfik tubuh berada di spectrum gangguan tipe obsesif compulsif.
c. Cognitive
Teori kognitif telah berspekulasi bahwa beberapa kasus hipokondria dapat mewakili sebuah tipe dari strategi self-handicapping, suatu cara menyalahkan kinerja yang rendah pada kesehatan yang buruk. Pada kasus lain, mengalihkan perhatian pada keluhan fisik adalah untuk menghindari berpikir hal yang tidak diinginkan. Cara berpikir yang terdistorsi pada gangguan hipokondria dan gangguan panik membuat orang tersebut salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuh sebagai tanda dari bencana yang akan terjadi.

GANGGUAN DISOSIATIF
Seorang individu dapat dikatakan sehat secara mental, salah satunya apabila dia merasa dirinya utuh dengan dasar satu kepribadian. Keutuhan diri terdiri dari integrasi atau gabungan dari pikiran, perasaan, dan tindakan individu yang secara bersamaan membentuk suatu kepribaaadian yang unik. Individu harus mampu pula menyelaraskan pikiran, perasaan, dan tindakanya. Apabila integrasi atau keutuhan tersebut terganggu, salah satu akibatnya adalah munculnya gangguan disosiatif. Gangguan disosiatif adalah gangguan yang di tandai dengan adanya perubahan perasaan individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan uuntuk mengingat peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinyabahkan membentuk identitas baru. (Davidson & Neale, 2001).
Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru. Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain:
ingatan masa lalu kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of identity and immediate sensations) kontrol terhadap gerakan tubuh

PENGERTIAN DAN GEJALA
1. Amnesia Disosiatif
Amnesia disosiatif adalah hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres. Seseorang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stres. Informasi-informasi itu tidak hilang secara permanen namun tidak dapat diingat kembali saat episode amnesia. Lubang-lubang dalam memori terlalu lebar untuk dapat dijelaskan sebagai kelupaan biasa.

Pada amnesia total, penderita tidak mengenali keluarga dan teman-temannya, tetapi tetap memiliki kemampuan bicara, membaca dan penalaran, juga tetap memiliki bakat dan pengetahuan tentang dunia yang telah diperoleh sebelumnya. Individu yang mengalami amnesia disosaiif dapat secara mendadak kehilangan kemampuan untuk mengingat kemabli informasi tenatng dirinya sendiri ataupun berbagai informasi yang sebellumnya telah ada dalam memori mereka. Iasanya hal ini terjadi sesudah peristiwa yang menekan (stressful event) seperti misalnya menyaksikan kematian seseoarang yang dicintai. Inforamsi yang hilang atau tidak mampu diingatt oleh individu biasanya menyangkut peristiwa yang traumatic dan menekan yang terjadi dalam kehidupan individu.

2. Fugue Disosiatif
Fugue disosiatif adalah hilangnya memori yang disertai dengan meninggalkan rumah dan menciptakan identitas baru. Dalam fugue disosiatif, hilangnya memori lebih besar dibanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang mengalami fugue disosiatif tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan beraktivitas dengan menggunakan identitas baru. Individu dengan gangguan ini secara tiba-tiba dapat memiliki nama yang baru, rumah serta pekerjaan yang baru, bahkan mampu membentuk karakteristik kepribadian yang baru. Individu bahkan mampu membentuk hubungan social yang baik dengan lingkungannya yang baru, walaupun identitas yang baru pada fugue disosiatif tidaklah selengkap apabila ita melihat kepribadian lain yang ada pada individu dengan gangguan disosiatif identitas (multiple personality disorder). Dan gangguan fugue terjadi dalam jangka waktu yang lebih singkat. Fugue mencakup perjalanan yang terbatas, namun jelas tujuannya. Dimana hubungan social hanya minimal atau tidak ada sama sekali.
Fugue pada umumnya terjadi setelah seseorang mengalami stress berat, seperti pertengkaran dengan suami istri penolakan diri, asalah keuangan atau pekerjaan dalam bertugas dalam peperangan, atau bencana alam. Walaupun memerlukan waktu yang lamanya bervariasi, namun biasanya individu dapat pulih secara total, individu yang bersangkutan tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama ia mengalami amnesia.
pada dasarnya penyebab dari gangguan ini adalah masalah psikologis. Factor yang mendorong munculnya gangguan ini adalah keinginan yang sangat kuat untuk lari atau melepaskan diri dari pengalaman yang secara emosionalmenaitkan individu.

3. Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah. Dalam episode depersonalisasi, yang umumnya dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Para penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata. Episode gangguan depersonalisasi adalah ego-distonik. Dimana individu dengan gangguan ini mampu menyadari bahwa apa yang dirasakannya tersebut tidaklah nyata (tidak sesungguhnya terjadi), namun mereka tidak mampu untuk menghilangkan perasaan tersebut (merasa bahwa hidungnya membesar). Oleh Karena itu, mereka merasa terganggu karenanya. Gangguan depersonalisasi dapat disebabkan oleh masalah psikologis (stress yang berat), neurologis (depersonaisasi biasanya merupakan gejala awal adanya masalah neurologis seperti misalnya tumor otak atau epilepsy) dan penyakit sistemik (gangguan tiroid atau pancreas).

4. Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan identitas disosiatif suatu kondisi dimana seseorang memiliki minimal dua atau lebih kondisi ego yang berganti-ganti, yang satu sama lain bertindak bebas. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau berubah-ubah, kondisi yang berbeda dalam keberadaan, perasaan dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda.
Secara singkat kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas disosiatif ialah:
a. Keberadaan dua atau lebih kepribadian atau identitas
b. Sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku secara berulang
c. Ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting.

Etiologi
Istilah gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme, dissosiasi, yang diduga menjadi penyebabnya. Pemikiran dasarnya adalah kesadaran biasanya merupakan kesatuan pengalaman, termasuk kognisi, emosi dan motivasi. Namun dalam kondisi stres, memori trauma dapat disimpan dengan suatu cara sehingga di kemudian hari tidak dapat diakses oleh kesadaran seiring dengan kembali normalnya kondisi orang yang bersangkutan, sehingga kemungkinan akibatnya adalah amnesia atau fugue.
Pandangan behavioral
Mengenai gangguan disosiatif agak mirip dengan berbagai spekulasi awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral menganggap dissosiasi sebagai respon penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut.

Psikoanalisa
Terdapat dua teori besar mengenai GID. Salah satu teori berasumsi bahwa GID berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan oleh penyiksaan secara fisik atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma (Gleaves, 1996).

Teori lain beranggapan bahwa GID merupakan pelaksanaan peran sosial yang dipelajari. Berbagai kepribadian yang muncul pada masa dewasa umumnya karena
berbagai sugesti yang diberikan terapis (Lilienfel dkk, 1999; Spanos, 1994). Dalam teori ini GID tidak dianggap sebagai penyimpangan kesadaran; masalahnya tidak terletak pada apakah GID benar-benar dialami atau tidak, namun bagaimana GID terjadi dan menetap.

Terapi
Gangguan disosiatif menunjukkan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan lain, kemungkinan relevansi teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif, amnesia, fugue dan GID, para penderita menunjukkan perilaku yang secara sangat meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab itu, terdapat hipotesis bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres.

Terapi psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk gangguan disosiatif dibanding masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi hukum sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.
Terapi GID. Hipnotis umum digunakan dalam penanganan GID. Secara umum, pemikirannya adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres akan difasilitasi dengan menciptakan kembali situasi penyiksaan yang diasumsikan dialami oleh pasien. Umumnya seseorang dihipnotis dan didorong agar mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa masa kecil. Harapannya adalah dengan mengakses kenangan traumatik tersebut akan memungkinkan orang yang bersangkutan menyadari bahwa bahaya dari masa kecilnya saat ini sudah tidak ada dan bahwa kehidupannya yang sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian masa lalu tersebut. Terdapat beberapa prinsip yang disepakati secara luas dalam penganganan GID, terlepas dari orientasi klinis (Bower dkk, 1971; Cady, 1985; Kluft, 1985, 1999; Ross, 1989). Tujuannya adalah integrasi beberapa kepribadian.

Setiap kepribadian harus dibantu untuk memahami bahwa ia adalah bagian dari satu orang dan kepribadian- kepribadian tersebut dimunculkan oleh diri sendiri. Terapis harus menggunakan nama setiap kepribadian hanya untuk kenyaman, bukan sebagai cara untuk menegaskan eksistensi kepribadian yang terpisah dan otonom. Seluruh kepribadian harus diperlakukan secara adil. Terapis harus mendorong empati dan kerjasama diantara berbagai kepribadian. Diperlukan kelembutan dan dukungan berkaitan dengan trauma masa kanak-kanak yang mungkin telah memicu munculnya berbagai kepribadian.

Tujuan setiap pendekatan terhadap GID haruslah untuk meyakinkan penderita bahwa memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang berbeda tidak lagi diperlukan untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di masa lalu yang memicu disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di masa yang akan datang.

PANDANGAN PSIKOSOSIAL MENGENAI DISOSIATIF DISORDER
a. Psikodinamika
Amnesia disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif dengan cara memutus atau mendisosiasi alam sadar seseorang dari kesadaran akan pengalaman traumatis atau sumber-sumber lain dari nyeri maupun konflik psikologis. Bagi teoritikus psikodinamika, gangguan disosiatif melibatkan penggunaan represi secara besar-besaran, yang menghasilkan terpisahnya impuls yang tidak dapat diterima dan ingatan yang menyakitkan dari kesadaran seseorang. Dalam amnesia dan fugue disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri dari kebanjiran kecemasan dengan mengeluarkan ingatan-ingatan yang mengganggu atau mediasosiasi impuls menakutkan yang bersifat seksual atau agresif. Pada kepribadian ganda, orang mungkin mengekspresikan impuls-impuls yang tidak dapat diterima ini melalui pengembangan kepribadian pengganti. Pada dipersonalisasi, orang berada di luar dirinya sendiri, aman dengan cara menjauh dari pertarungan emosioal di dalam diri.
b. Behavioral dan Cognitive
Teoritikus behavioral dan kognitif memandang disosiasi sebagai suatu respon yang dipelajari yang meliputi proses tidak berpikir tentang tindakan atau pikiran yang mengganggu dalam rangka menghindari rasa bersalah atau malu yang ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman adanya perasaan terbebas dari kecemasan, atau dengan memindahkan perasaan bersalah atau malu. Sejumlah teoritikus sosial kognitif, percaya bahwa gangguan identitas disosiatif adalah suatu bentuk bermain pern yang dikuasai melalui observasi, yag melibatkan proses pembelajaran dan reinforcement. Hal ini tidak dama dengan pura-pura atau malingering; orang dapat secara jujur mengorganisasikan pola perilaku mereka menurut peran tertentu yang telah mereka amati. Mereka juga dapat menjadi sangat mendalami peran mereka sehingga lupa bahwa mereka sedang menampilkan sebuah peran.
c. Biologis
Penemuan ini menekankan pada kemungkinan adanya disfungsi di bagian otak yang terlibat dalam persepsi tubuh, dapat membantu menjelaskan perasaan terpisah dari tubuh yang diasosiasikan dengan dpersonalisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Supratinya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius. LAB/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa. 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan RSUD Dr. Soetomo.
Nevid, Jeffrey S. 2005. Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT. Refika Aditama.